Kamis, 04 Februari 2010

Coba Lihat, Dengar, Rasakan (Arti Hidup-Kelahiran-Kematian)

Pernahkah kalian berpikir kenapa kita dilahirkan? Pernahkah kalian bertanya kenapa kita hidup toh nantinya juga mati? Pernahkah kalian merasa sebaiknya aku tak dilahirkan di dunia ini sehingga tak perlu mersakan bertanya hidup, tak perlu melihat kejamnya dunia. Merasa terpaksa menjalani hidup yang sudah terlanjur ini.

Jika dipikirkan sebenarnya hidup ini sederhana. Ada kehidupan juga ada kematian. Dalam hidup ada pilihan bahagia atau sedih. Ada tawa ada tangis. Ada sehat ada sakit. Nantinya dihadapkan pada surga atau neraka. Hidup sangat sederhana, cukup memilih dari pilihan yang ada. Hanya saja kita senantiasa dihantui untuk memilih salah satu, meski sebenarnya hati tak hendak menunjuk salah satu pilihan. Merasa terperangkap pada pilihan-pilihan yang mau tidak mau harus dipilih salah satu. Suatu paksaan untuk harus memilih.

Dari kesederhanaan hidup, atas pilihan yang kian memaksa, mendorongku untuk berpikir.
Kenapa kita dilahirkan? Aku tak pernah meminta dilahirkan di dunia ini. Aku juga tak meminta lahir dalam kondisi seperti ini. Dimanakah pilihan-pilihan saat itu? Aku tak diberi pilihan, bahkan tak ada pemberitahuan sebelumnya seperti apa hidup ini. Aku tak meminta dilahirkan, tapi tetap saja jerit ini terabaikan. Aku tetap terlahir, tumbuh, beranjak dewasa, semakin paham akan masalah yang ada. Berat sungguh hidup ini. Kadang membuatku berpikir jika setelah hidup pasti mati, cepat atau lambat kita pasti akan mati. Jika kematian tak kunjung menjemput, mungkinkah aku bisa menjemput kematian? Kacau, galau,.. Hari berganti bulantapi masalah tak kunjung berkurang, malah kian bertambah dan semakin kompleks. Ingin rasanya aku protes pada sang pembuat nyawa, tapi urung kulakukan karena merupakan suatu kebodohan dan penuh kesia-siaan.

Tamparan keras mendarat di pelupuk hatiku. Seperti tulisanku sebelumnya tapi tamparan kali ini membuatku merenung lebih dalam. Coba melihat, mendengar, dan merasakan keadaan sekitar. Kawan-kawan yang senantiasa memberi semangat dan pandangan mereka. Dari sinilah ku mulai belajar:

"Hidup ya pilihan dan pilihan pasti menimbulkan masalah. Jadi pintar-pnitar saja memilih jalan pilihan kita. Intinya hidup ya masalah, kalau tidak ada masalah artinya tidak hidup alias mati. Ganbatte' kudasai." (Mas Aang-Kahima 2009)

"Jika sedang menempuh jalan yang sulit dan mendaki, gunakan kendaraan sabar.
Jika jalannya mudah dan datar, gunakan kendaraan syukur.
Jika takdir menimpa hingga tak sampai tujuan, gunakan kendaraan ridho.
Jika terbentur jalan buntu tanpa ujung, maka tawakallah kendaraannya." (Ukhty Heny-Mentor)

"Aku bersyukur karena dilahirkan dan memang selayaknya kita bersyukur karena yang di atas pasti adil dan tahu yang paling baik bagi kita." (Mas Tegar-Teman FB, T.Sipil ITS)

"Kematian tak usah kita jemput, kematian yang akan jemput kita. Ada antriannya sendiri." (Mas Hayyu-Kakak kelas SMA)

Merekalah, dengan kata-kata penyemangatnya untukku. Tanpa kuminta, kepedulian mereka membuatku berpikir kembali. Meski mereka tak mengetahui masalahku, yang ada di dalam pikiranku, tapi dukungan dan kata 'semangat' merekalantangkan di telinga batinku. Termenung akan semua rangkaian kata mereka. Mencoba berpikir lebih dalam. Meski loading otakku belum bisa 100% termotivasi tapi paling tidak aku mampu menghasilkan coretan ini. Harapku para pembaca yang sempat melirik tulisan ini mampu berpikir kembali tentang apa arti hidup? Kenapa kita dilahirkan? Dan bagaimana kita menyambut ajal? Anganku mereka(pembaca) mampu memikirkannya jauh labih jernih sehingga tak terpeleset dan jatuh sepertiku. Semangat untuk hidup kita, GANBATTE' KUDASAI.
(by oneda-4 feb 10)

Keluarga Sakinah???

Sinar jingga mewarnai hampir 2/3 langit. Kini mentari kan kembali bersembunyi di peraduannya. Pertanda hari semakin larut. Seorang pria nampak lusuh berjalan gontai, seakan seluruh tenaganya telah dihisap oleh kejamnya kehidupan. Celana hitam, kemeja putih bergaris, dan dasi merah marun acak-acakan melingkar di lehernya. Tapi kesan dan pesona sebagai pemilik perusahaan besar terpancar dari wajahnya yang terawat rapi tanpa ditumbuhi jenggot halus. Ditambah lagi tas koper hitam yang dijinjing di tangan kanannya dan jas hitam di tangan kirinya. Rasa lelah setelah seharian bekerja coba ia hapuskan. Semangat bertemu istri dan sang buah hati tercinta memacunya untuk mengendarai mobilnya lebih cepat. Ia berusaha merapikan dasi yang telah kendor, memasang senyum selebar 2cm ke kanan dan 2cm ke kiri saat hendak membuka pintu rumah. "Assalamu'alaikum" salam hangat ia ucapkan sebagai bentuk usahanya menjalankan perintah Tuhan untuk mengucap salam yang berarti do'a bagi yang mendengarnya. "Wa'alaikumsalam" jawab seisi rumah. Sambutan hangat dari sang istri mampu menghapuskan penat seharian ini. Apalagi celoteh si kecil yang dengan gagap berusaha memanggil"yah...yah...yah...". Pelukanhangat ia berikan pada putri kecilnya. Sementara si sulung-jagoan kecilnya berlari kecil meraih tangan kanan sang ayah, lalu mengecupnya.

Tuhan telah memeanggil mereka melalui adzan maghrib yang berkumandang dari 'langgar' belakang rumah mereka. Dengan mukenah kecil yang masih nampak kebesaran di tubuh mungilnya, si bungsu turut sholat berkama'ah. Meski putri kecilnya belum mengerti makna sembahyang yang sesungguhnya tapi ia telah dilatih sejak dini. Do'a tulus senantiasa dipanjatkan kedua orangtua ini agar kedua buah hatinya menjadi anak soleh soleha. Lantunan ayat ayat suci al-Qur'an mengalir indah dari rumah ini. Diawali sang ayah dengan bacaannya yang fasih, dilanjutkan oleh si sulung dengan bacaannya yang masih terbata-bata, lalu ditutup oleh bacaan sang ibu dengan suara lembutnya. Si bungsu berusaha mendengarkan dengan baik meski jemari tangannya tak henti melipat lipat kain mukenah milik sang ibu.

Sungguh terlihat sempurna keluarga ini. Sosok ayah sebagai pemimpin yang bekerja keras dan bertanggungjawab. Sang ibu yang dengan sabar mampu mendidik kedua buah hatinya dengan penuh kasih sayang. Tenang, tentram, sungguh damai keluarga ini. Bukan berarti tak ada masalah yang menerpa. Tapi mereka mampu melewatikerikil dan batu terjal kehidupan dengan senyuman, keikhlasan, dan tawakal.

Sayang sekali ini hanyalah cerita fiksi yang kubuat. Hanya sebuah karangan dan sebuah harapan kosong. Sebuah angan yang jauh dari kenyataan. Ah...andai saja aku mampu menjadi sutradara dan penulis skenario kehidupanku sendiri seperti cerita ini, sungguh beruntungnya aku. 'PLOK' tamparan keras ini mengingatkanku, seakan menarikku dari alam mimpi kembali menginjakkan bumi dan beratapkan langit. Melihat kenyataan yang ada, menoleh pada kehidupan sesungguhnya. Sadarlah... Sadarlah... Hidupku tak seputih salju. Sebuah angan yang jauh dari kenyataan.
(by oneda-3 feb 10)